Tidak Kerasan di Sekolah Rakyat? Pembina PP Cahaya Quran: Wajar, Tapi Perlu "Dipaksa" dengan Kasih Sayang

LAMONGAN, ppcahayaquran.com – Kasus lima siswa yang kabur dari sebuah sekolah berasrama karena tidak kerasan baru-baru ini menjadi sorotan nasional. Menanggapi fenomena ini, Pembina Santri Pondok Pesantren Cahaya Quran Babat, Lamongan, Ustadz Moh Shorih Al-Kholid, M.Ag., memberikan pandangannya dari perspektif seorang pendidik di lingkungan pesantren.

Menurut Ustadz Shorih, alumni S2 Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, perasaan tidak betah atau tidak kerasan yang dialami santri baru adalah sebuah kewajaran yang harus dipahami oleh semua pihak, baik pengurus pondok maupun orang tua.

"Sangat wajar sekali jika di awal-awal masa pendidikan, ada sebagian anak yang merasa tidak kerasan. Bayangkan saja, mereka meninggalkan rumah, orang tua, dan semua kenyamanan yang selama ini mereka kenal. Mereka masuk ke lingkungan yang serba baru: teman baru, kamar baru, aturan baru, hingga jadwal kegiatan yang padat. Ini adalah guncangan psikologis yang butuh waktu untuk diatasi," jelasnya saat ditemui di kompleks PP Cahaya Quran, Sabtu (16/8/2025).

Beliau menambahkan bahwa fase adaptasi ini adalah kunci keberhasilan seorang santri untuk bisa bertahan dan berkembang di pondok pesantren. Tanpa melewati fase ini, sulit bagi anak untuk merasa memiliki dan nyaman dengan lingkungan barunya.

Solusi "Memaksa" Tanpa Kekerasan

Lantas, apa solusi jika anak terus-menerus merasa tidak betah? Ustadz Shorih menawarkan sebuah konsep yang mungkin terdengar tegas, yaitu "dipaksa". Namun, ia segera meluruskan makna dari kata tersebut.

"'Dipaksa' di sini bukan berarti dengan kekerasan fisik atau bentakan. Sama sekali bukan," tegasnya. "Memaksa yang kami maksud adalah melakukan upaya-upaya terstruktur dan penuh kasih sayang agar anak mau bertahan melewati masa sulitnya, hingga akhirnya ia menemukan sendiri kenyamanannya. Ini adalah bentuk 'paksaan' yang mendidik dan membangun."

Menurutnya, memulangkan anak hanya karena ia merengek tidak kerasan seringkali bukanlah solusi terbaik. Justru, hal itu akan menciptakan preseden buruk bagi mental anak di masa depan saat menghadapi tantangan baru.

Peran Multifungsi Wali Asuh

Ustadz Shorih kemudian membagikan kunci praktis dalam menerapkan konsep "memaksa" dengan benar, yaitu dengan mengoptimalkan peran wali asuh atau pembina di asrama.

"Kunci utamanya ada pada wali asuh. Seorang wali asuh tidak bisa hanya bertindak sebagai pengawas. Ia harus mampu menjadi tiga figur sekaligus bagi santri: menjadi orang tua, guru, sekaligus teman," paparnya.

 • Sebagai Orang Tua: 

Wali asuh harus mampu memberikan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang layaknya orang tua di rumah. Menanyakan kabar, memastikan makan dan istirahatnya cukup, serta memberikan pelukan saat santri merasa sedih.

 • Sebagai Guru: 

Wali asuh harus menjadi teladan, memberikan bimbingan akhlak, menasihati ketika santri melakukan kesalahan, dan mengarahkan pada kegiatan-kegiatan yang positif.

 • Sebagai Teman: 

Wali asuh perlu meluangkan waktu untuk mendengar keluh kesah santri, bercanda bersama, dan menjadi sosok yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita tanpa rasa takut atau canggung.

"Dengan pendekatan multifungsi ini, santri tidak akan merasa sendirian. Ia tahu ada sosok yang peduli dan siap membantunya kapan saja. Perlahan, rasa tidak kerasan itu akan terkikis dan berganti menjadi rasa memiliki dan kebersamaan. Inilah tujuan utama dari pendidikan di asrama," tutup Ustadz Shorih.



Comments